TUKANG PARKIR LIAR, BIKIN PEMASUKAN PEMKOT JEBOL

Banyak dari kita yang sangat merasa terganggu dengan adanya tukang parkir tidak resmi/ tukang parkir liar. Menurut saya, salah satu jalanan di Surabaya yang paling banyak tukang parkir liarnya adalah di Jalan Dharmawangsa. Lama-lama saya jengkel sendiri, ini tukang parkir atau tukang palak! menjaga kendaraan kita saja tidak, tapi saat kita akan meninggalkan tempat mereka muncul dan langsung meminta uang bak preman. Bayangkan saja, parkir di depan Kedai Bamboo (salah satu tempat makan di Jalan Dharmawangsa) ditarik uang parkir Rp 2.000,- dan saat saya parkir ke Alfamidi ditarik lagi Rp 1.000,-. Belum beli apa-apa saya sudah keluar uang Rp 3.000,- untuk parkir motor. Saat dimintai karcis, kebanyakan dari mereka tidak memilikinya. Padahal karcis parkir tersebut adalah bukti bayar pajak pengelola parkir kepada Pemerintah Kota Surabaya. Pantas saja jika pendapatan kota Surabaya dari pajak retribusi parkir banyak jebol karena ulah tukang parkir liar.

Padahal sudah ada aturan yang jelas telah mengatur tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum yaitu melalui Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 8 Tahun 2012. Pasal 8 Perda tersebut telah mengatur secara jelas tentang besaran tarif parkir di tepi jalan bagi mobil penumpang. mobil barang hingga sepeda motor. Sebagai contoh dalam Pasal 8 tersebut, sepeda motor untuk sekali parkir di tepi jalan umum dikenai biaya Rp 500,- (lima ratus rupiah), untuk parkir insidentil Rp 1.500,- (seribu lima ratus rupiah), untuk tempat parkir zona Rp 2.000,- (dua ribu rupiah). Tata cara pemungutan diatur dalam Pasal 10, bahwa retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Dokumen lain yang dipersamakan tersebut dapat berupa karcis parkir dan bukti langganan. Jarang sekali kita mendapat karcis parkir saat parkir di pinggir jalan. Hal itulah membuat para tukang parkir liar menjadi "manja" dan asal semprit peluit minta uang. Kalau saya berani bertengkar sedikit, supaya tukang parkir liar itu menjadi tertib.

Selain itu seharusnya uang hasil retribusi parkir tersebut disetor ke Rekening Umum Kas Daerah paling lama 1 (satu) hari kerja (Pasal 10 ayat (3) Perda No. 8 Tahun 2012). Namun hasil retribusi parkir itu justru masuk ke "penguasa" jalanan setempat, bahkan ada pula yang disetor ke RT/RW atau kepala lingkungan setempat, dan sayangnya digunakan untuk kepentingan pribadi (Kalau untuk perbaiki jalan atau kepentingan masyarakat sih nggak apa2).

Marilah kita menjadi manusia yang tidak apatis, tidak membiarkan pelanggaran terjadi di depan mata kita. Padahal kita tahu aturannya, namun seringkali kita berpikir "ahhh untuk apa sih? toh hanya uang 2.000 rupiah.." Justru pemikiran itulah yang menyebabkan kerugian hingga kas daerah jebol.
SEBAIKNYA PUN, SATPOL PP KOTA SURABAYA TIDAK HANYA LUNTANG-LUNTUNG SIBUK MENCABUT SPANDUK ATAU MENERTIBKAN PEDAGANG KAKI LIMA SAJA TAPI JUGA MENERTIBKAN PARKIR LIAR. Menurut saya pedagang kaki lima yang bekerja mencari nafkah lebih tinggi derajatnya daripada tukang parkir yang prat-prit-prat-prit dan asal meminta uang.

Program Jaminan Kecelakaan Kerja "Return To Work" Bagi Pekerja yang Mengalami Kecelakaan Kerja

Belakangan ini saya tertarik untuk menulis mengenai ketenagakerjaan, karena ternyata banyak sekali perbedaan antara aturan-aturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan dengan praktek di lapangan, seperti halnya mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau yang lazim disebut perjanjian kontrak (sudah saya bahas dalam tulisan terdahulu).

Kali ini, ada kabar baik bagi pekerja yang bekerja di lingkungan yang rawan kecelakaan kerja. Mulai Juli 2015 ini akan ada program Jaminan Kecelakaan Kerja  "Return To Rork" (JKK  -RTW), yang pada intinya menjamin pekerja yang bekerja di tempat-tempat yang rawan kecelakaan, apabila terjadi kecelakaan kerja maka akan tetap dapat bekerja kembali jika keadaannya sudah pulih walaupun dengan keadaan cacat sementara maupun cacat permanen. Adanya program ini dilatarbelakangi oleh banyaknya pekerja yang mengalami PHK setelah mengalami kecacatan karena kecelakaan kerja. Menurut Menteri Hanif, program ini akan diselenggarakanBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015. Dengan program ini pekerja yang jadi peserta BPJS akan mendapatkan pendampingan ketika mengalami kecelakaan kerja yang berakibat cacat atau berpotensi cacat. Pendampingan bermula sejak terjadinya musibah kecelakaan kerja hingga pekerja bekerja kembali.


Saat kembali ke pekerjaan, tentu saja pengusaha harus melakukan beberapa penyesuaian dengan keadaan pekerja setelah mengalami kecelakaan kerja. Saat pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan melakukan upaya pengobatan di Rumah Sakit, maka manajer Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (KK PAK) akan mendampingi perkembangan kesehatan pekerja hingga pekerja kembali ke lingkungan kerja. Apabila ternyata pekerjaan yang dulu tidak lagi sanggup dilakukan pekerja, maka manajer KK PAK dengan pengusaha akan mencarikan solusi lain misalnya menempatkan pekerja di bagian lain sesuai dengan kemampuan pekerja pasca kecelakaan. 

Mudah-mudahan program Kementerian Ketenagakerjaan ini akan benar-benar berjalan dengan sebagaimana mestinya, sehingga amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dapat pula diamalkan dengan arif. 
"TIAP-TIAP WARGA NEGARA BERHAK ATAS PEKERJAAN DAN PENGHIDUPAN YANG LAYAK BAGI KEMANUSIAAN."

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Indah dalam Tulisan, Impian dalam Kenyataan

Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sering disebut dengan perjanjian kontrak. Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Namun nyatanya, perjanjanjian kerja waktu tertentu (selanjutnya disebut perjanjian kontrak) diterapkan pada semua jenis pekerjaan termasuk pekerjaan yang bersifat terus-menerus. Dalam hal ini, pekerja mengalami dampak negatif karena apabila pekerja menolak klausul-klausul tertentu dalam suatu perjanjian kerja, pengusaha akan serta merta tidak memberikan kesempatan kepada pekerja untuk memperoleh mata pencaharian.

Banyak sekali aturan dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang pada kenyataannya banyak disimpangi oleh para pengusha, dan para pekerja pun tidak mengerti bahkan tidak memahami aturan-aturan yang melindungi hak-haknya tersebut.
Seperti terlihat dalam Pasal 58 UU No.13 Tahun 2003, telah diatur:
  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
  2. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
NAMUN TETAP SAJA DALAM PKWT/PERJANJIAN KONTRAK MASIH DISYARATKAN MASA PERCOBAAN KERJA (BIASANYA 3 BULAN).
Seharusnya saat hal tersebut terjadi, maka masa percobaan tersebut menjadi batal demi hukum. Ironisnya, saat pekerja mengutarakan haknya sesuai payung hukum UU No. 13 Tahun 2003, para pengusaha telah menjadi pihak yang berada di atas angin, menjadi pihak yang seolah-olah kebal terhadap hukum.

IBU KOS MASUK KAMAR KOS TANPA IJIN, BISA DIPIDANAKAN?

Hal ini saya alami ketika waktu itu saya lupa mematikan lampu di kamar kos saya, di Jalan Nginden Baru III/1C Surabaya. Saat itu, ibu kos yang bernama Ibu Nona langsung masuk ke kamar saya dan mencabut semua kabel listrik di kamar saya. Saya mengetahui hal tersebut pada saat malam setelah saya pulang bekerja. Saya bertanya pada teman se-kos, "Mbak, apa tadi ada yang masuk kamar saya?" Teman saya tidak mengetahui langsung karena dia pun sedang di luar saat itu. Kemudian teman saya mengatakan "mungkin ibu kos yang masuk", karena dia pun pernah dimasuki kamarnya oleh ibu kos hanya karena masalah sepele yaitu jemuran yang berantakan (maklum lha anak kos, jadi mau gimana lagi). Saya sangat marah karena ada orang asing yang berani2 melanggar privasi saya. Mugkin teman2 ada juga yang mengalami hal yang saya alam. Jangan diam saja, Anda harus tegas!

Satt itu saya masih menunggu itikad baik Ibu Nona untuk meminta maaf atau paling tidak ngomong kalu dia sudah masuk kamar saya tanpa ijin. Tapi ternyata tidak. Saya langsung mengirimkan SMS yang menyatakan bahwa saya tidak suka akan tindakannya dan 2 hari kemudian saya memutuskan untuk keluar dari kos itu.

Ternyata teman saya satu kos juga ada yang mengalami hal yang sama, tapi lebih buruk, dia diusir hanya karena tidak melapor bahwa ia membawa tambahan alat elektronik yang seharusnya bayar uang tambahan Dia diusir sebelum tanggal jatuh tempo pembayarn kos tiap bulannya habis. Jadi jatuh tempo teman saya itu tiap tanggal 5, tapi sebelum tanggal 30 November 2014 ia sudah diminta keluar dari kos itu. Dasarnya teman saya yang tidak tegas, jadi dia diam saja dan menurut. 

Pasal 167 ayat (1) KUHP mengatur:
Barangsiapa memaksa untuk masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

"MIRANDA RULES" dalam Penerapan Perlindungan Hak-hak Tersangka di Indonesia

Miranda Rules adalah suatu konsep pencegahan kesewenang-wenangan Penyidik terhadap Tersangka. Miranda Rules ini merujuk pada nama Ernesto Miranda, pria yang pada 1963 masih berusia 23 tahun. Miranda ditangkap sebagai tersangka penculikan dan pemerkosaan remaja di Phoenix Arizona, Amerika Serikat. Setelah diinterogasi penyidik sekitar dua jam, Miranda akhirnya mengaku sebagai pelaku. Ia menandatangani BAP. Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab secara sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Di pengadilanArizona, Miranda terancam hukuman 20 tahun penjara. Ia banding. Kasus Miranda v Arizona itu akhirnya bergulir ke Mahkamah Agung AS. Pada 1966, Mahkamah Agung memutus perkara ini dengan suara 5:4. Mayoritas hakim berpendapat pengakuan Miranda diberikan ketika hak-haknya tidak dalam perlindungan. Spirit putusan itu adalah pengakuan tersangka tidak boleh diperoleh dengan cara melakukan kekerasan dan tekanan. (Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18401/menunggu-imiranda-rulesi-di-ruang-penyidikan)

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak dikenal istilah Miranda Rules. Namun konsep yang sama tentang pencegahan kesewenang-wenangan Penyidik terhadap Tersangka sudah diatur secara gamblang dalam KUHAP. 
Di negeri Paman Sam, Penyidik harus selalu menjelaskan kepada Tersangka tentang Miranda Warning:
You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.
(Kamu memiliki hak untuk diam. Apapun yang kamu katakan dapat dan akan digunakan untuk melawanmu di pengadilan. Kamu memiliki hak untuk bicara kepada penasehat hukum dan dihadiri penasehat hukum selama interogasi. Apabila kamu tidak mampu menyewa penasehat hukum, maka akan disediakan satu untukmu yang ditanggung oleh Pemerintah.)
KUHAP pun telah mengatur tentang hak-hak Tersangka, antara lain:

RALAT perihal: Apa merekam pembicaraan orang adalah tindak pidana?

Setelah membaca dan mencermati kembali UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta setelah perbincangan dengan Penanya, maka dengan ini saya memberikan ralat terhadap artikel "Apa merekam pembicaraan orang adalah tindak pidana?".

Bahwa yang dimaksud dengan "merekam pembicaraan orang" adalah TIDAK SAMA dengan "intersepsi/penyadapan" yang diatur pada Pasal 31 UU ITE .

Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi (Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE).

Bahwa kegiatan merekam pembicaraan orang seperti dalam kasus yang ditulis dalam artikel https://id.berita.yahoo.com/rekaman-percakapan-marshanda-ibunda-beredar,-052000974.html , BUKAN TERMASUK KEGIATAN PENYADAPAN karena tidak adanya penggunaan alat-alat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU ITE dan penjelasannya. Apabila kegiatan merekam pembicaraan orang dilakukan dengan alat-alat penyadap baik yang menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, maka kegiatan perekaman tersebut baru bisa dikatakan sebagai kegiatan intersepsi/penyadapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU ITE. 

Maka kegiatan merekam pembicaraan orang (seperti contoh kasus Marshanda vs. Ben Kasyafani) BUKAN termasuk tindak pidana sebagaimana yang dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU ITE. Pihak yang bersangkutan karena pembicaraannya direkam dan merasa dirugikan karena adanya perekaman pembicaraan tanpa seijin darinya, dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan akibat perekaman tersebut.

Demikian, semoga membantu.

Apa merekam pembicaraan orang adalah tindak pidana?

Menjawab pertanyaan CN yang disampaikan dalam "kotak pesan" pada tanggal 15 Oktober 2014, maka berikut adalah tanggapan saya.

Kami mengartikan "Merekam pembicaraan orang" yang dimaksud oleh Penanya adalah menyimpan data pembicaraan (audio) dari seseorang dengan menggunakan alat perekam suara (audio). Sedangkan yang dimaksud dengan "tindak pidana (strafbaar feit)" adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut (Prof. Moeljatno, S.H.). 

Bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE):
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. 

Berdasarkan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE, yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.