Belakangan ini saya tertarik untuk menulis mengenai ketenagakerjaan, karena ternyata banyak sekali perbedaan antara aturan-aturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan dengan praktek di lapangan, seperti halnya mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau yang lazim disebut perjanjian kontrak (sudah saya bahas dalam tulisan terdahulu).
Kali ini, ada kabar baik bagi pekerja yang bekerja di lingkungan yang rawan kecelakaan kerja. Mulai Juli 2015 ini akan ada program Jaminan Kecelakaan Kerja "Return To Rork" (JKK -RTW), yang pada intinya menjamin pekerja yang bekerja di tempat-tempat yang rawan kecelakaan, apabila terjadi kecelakaan kerja maka akan tetap dapat bekerja kembali jika keadaannya sudah pulih walaupun dengan keadaan cacat sementara maupun cacat permanen. Adanya program ini dilatarbelakangi oleh banyaknya pekerja yang mengalami PHK setelah mengalami kecacatan karena kecelakaan kerja. Menurut Menteri Hanif, program ini akan diselenggarakanBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015. Dengan program ini pekerja yang jadi peserta BPJS akan mendapatkan pendampingan ketika mengalami kecelakaan kerja yang berakibat cacat atau berpotensi cacat. Pendampingan bermula sejak terjadinya musibah kecelakaan kerja hingga pekerja bekerja kembali.
Saat kembali ke pekerjaan, tentu saja pengusaha harus melakukan beberapa penyesuaian dengan keadaan pekerja setelah mengalami kecelakaan kerja. Saat pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan melakukan upaya pengobatan di Rumah Sakit, maka manajer Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja (KK PAK) akan mendampingi perkembangan kesehatan pekerja hingga pekerja kembali ke lingkungan kerja. Apabila ternyata pekerjaan yang dulu tidak lagi sanggup dilakukan pekerja, maka manajer KK PAK dengan pengusaha akan mencarikan solusi lain misalnya menempatkan pekerja di bagian lain sesuai dengan kemampuan pekerja pasca kecelakaan.
Mudah-mudahan program Kementerian Ketenagakerjaan ini akan benar-benar berjalan dengan sebagaimana mestinya, sehingga amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dapat pula diamalkan dengan arif.
"TIAP-TIAP WARGA NEGARA BERHAK ATAS PEKERJAAN DAN PENGHIDUPAN YANG LAYAK BAGI KEMANUSIAAN."
Hal ini saya alami ketika waktu itu saya lupa mematikan lampu di kamar kos saya, di Jalan Nginden Baru III/1C Surabaya. Saat itu, ibu kos yang bernama Ibu Nona langsung masuk ke kamar saya dan mencabut semua kabel listrik di kamar saya. Saya mengetahui hal tersebut pada saat malam setelah saya pulang bekerja. Saya bertanya pada teman se-kos, "Mbak, apa tadi ada yang masuk kamar saya?" Teman saya tidak mengetahui langsung karena dia pun sedang di luar saat itu. Kemudian teman saya mengatakan "mungkin ibu kos yang masuk", karena dia pun pernah dimasuki kamarnya oleh ibu kos hanya karena masalah sepele yaitu jemuran yang berantakan (maklum lha anak kos, jadi mau gimana lagi). Saya sangat marah karena ada orang asing yang berani2 melanggar privasi saya. Mugkin teman2 ada juga yang mengalami hal yang saya alam. Jangan diam saja, Anda harus tegas!
Satt itu saya masih menunggu itikad baik Ibu Nona untuk meminta maaf atau paling tidak ngomong kalu dia sudah masuk kamar saya tanpa ijin. Tapi ternyata tidak. Saya langsung mengirimkan SMS yang menyatakan bahwa saya tidak suka akan tindakannya dan 2 hari kemudian saya memutuskan untuk keluar dari kos itu.
Ternyata teman saya satu kos juga ada yang mengalami hal yang sama, tapi lebih buruk, dia diusir hanya karena tidak melapor bahwa ia membawa tambahan alat elektronik yang seharusnya bayar uang tambahan Dia diusir sebelum tanggal jatuh tempo pembayarn kos tiap bulannya habis. Jadi jatuh tempo teman saya itu tiap tanggal 5, tapi sebelum tanggal 30 November 2014 ia sudah diminta keluar dari kos itu. Dasarnya teman saya yang tidak tegas, jadi dia diam saja dan menurut.
Pasal 167 ayat (1) KUHP mengatur:
Barangsiapa memaksa untuk masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Miranda Rules adalah suatu konsep pencegahan kesewenang-wenangan Penyidik terhadap Tersangka. Miranda Rules ini merujuk pada nama Ernesto Miranda, pria yang pada 1963 masih berusia 23 tahun. Miranda ditangkap sebagai tersangka penculikan dan pemerkosaan remaja di Phoenix Arizona, Amerika Serikat. Setelah diinterogasi penyidik sekitar dua jam, Miranda akhirnya mengaku sebagai pelaku. Ia menandatangani BAP. Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab secara sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Di pengadilanArizona, Miranda terancam hukuman 20 tahun penjara. Ia banding. Kasus Miranda v Arizona itu akhirnya bergulir ke Mahkamah Agung AS. Pada 1966, Mahkamah Agung memutus perkara ini dengan suara 5:4. Mayoritas hakim berpendapat pengakuan Miranda diberikan ketika hak-haknya tidak dalam perlindungan. Spirit putusan itu adalah pengakuan tersangka tidak boleh diperoleh dengan cara melakukan kekerasan dan tekanan. (Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18401/menunggu-imiranda-rulesi-di-ruang-penyidikan)
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak dikenal istilah Miranda Rules. Namun konsep yang sama tentang pencegahan kesewenang-wenangan Penyidik terhadap Tersangka sudah diatur secara gamblang dalam KUHAP.
Di negeri Paman Sam, Penyidik harus selalu menjelaskan kepada Tersangka tentang Miranda Warning:
You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.
(Kamu memiliki hak untuk diam. Apapun yang kamu katakan dapat dan akan digunakan untuk melawanmu di pengadilan. Kamu memiliki hak untuk bicara kepada penasehat hukum dan dihadiri penasehat hukum selama interogasi. Apabila kamu tidak mampu menyewa penasehat hukum, maka akan disediakan satu untukmu yang ditanggung oleh Pemerintah.)
KUHAP pun telah mengatur tentang hak-hak Tersangka, antara lain:
Setelah membaca dan mencermati kembali UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta setelah perbincangan dengan Penanya, maka dengan ini saya memberikan ralat terhadap artikel "Apa merekam pembicaraan orang adalah tindak pidana?".
Bahwa yang dimaksud dengan "merekam pembicaraan orang" adalah TIDAK SAMA dengan "intersepsi/penyadapan" yang diatur pada Pasal 31 UU ITE .
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi (Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE).
Bahwa kegiatan merekam pembicaraan orang seperti dalam kasus yang ditulis dalam artikel https://id.berita.yahoo.com/rekaman-percakapan-marshanda-ibunda-beredar,-052000974.html , BUKAN TERMASUK KEGIATAN PENYADAPAN karena tidak adanya penggunaan alat-alat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU ITE dan penjelasannya. Apabila kegiatan merekam pembicaraan orang dilakukan dengan alat-alat penyadap baik yang menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, maka kegiatan perekaman tersebut baru bisa dikatakan sebagai kegiatan intersepsi/penyadapan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU ITE.
Maka kegiatan merekam pembicaraan orang (seperti contoh kasus Marshanda vs. Ben Kasyafani) BUKAN termasuk tindak pidana sebagaimana yang dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU ITE. Pihak yang bersangkutan karena pembicaraannya direkam dan merasa dirugikan karena adanya perekaman pembicaraan tanpa seijin darinya, dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan akibat perekaman tersebut.
Demikian, semoga membantu.
Menjawab pertanyaan CN yang disampaikan dalam "kotak pesan" pada tanggal 15 Oktober 2014, maka berikut adalah tanggapan saya.
Kami mengartikan "Merekam pembicaraan orang" yang dimaksud oleh Penanya adalah menyimpan data pembicaraan (audio) dari seseorang dengan menggunakan alat perekam suara (audio). Sedangkan yang dimaksud dengan "tindak pidana (strafbaar feit)" adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut (Prof. Moeljatno, S.H.).
Bahwa berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE):
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE, yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.